Selasa, 15 April 2008

Harapan pada Pemilu Menuju Sistem Politik Pasar

Pemilihan Umum tidak lama lagi akan digelar di Indonesia yang rencananya bulan April 2009 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, kemudian disusul pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dilakukan secara terpisah. Atmostfirnya kian terasa setelah mulai dibukanya tahapan pendaftaran partai politik peserta pemilu oleh KPU. Ada 67 parpol yang telah mengambil formulir yang nantinya akan diverifikasi secara administrasi maupun faktual kecuali parpol lama yang memiliki kursi di DPR bisa langsung mendapat tiket untuk berlaga di pemilu 2009 nanti.

Dari Undang-Undang tentang pemilu yang telah disahkan di DPR tercatat beberapa kemajuan diantaranya diberlakukannya mekanisme Parlimentiary Treshold (PT) merupakan ambang batas suara 2,5 persen sebagai syarat minimal sebuah partai politik untuk diiukutkan dalam perebutan kursi di DPR RI jika suara sahnya kurang dari itu maka tidak diikutkan. Hal ini membawa konsekuensi lebih beratnya perjuangan partai kecil (baru) untuk menembus PT tersebut, dan secara alamiah menimbulkan efek jera bagi orang untuk membnetuk partai baru di kemudian hari. Dibanding sistem dulu walaupun sebuah partai politik perolehan suaranya kecil tetapi masih bisa diikutkan dalam penghitungan kursi dan walaupun tidak memenuhi Electoral Treshold (ET) merubah nama atau bergabung dengan partai lainnya dapat mengikuti pemilu berikutnya. Dengan sistem PT akan menghasilkan lebih sedikitnya jumlah partai politik di parlemen akan memudahkan pengambilan keputusan, dan lebih baik bagi kualitas demokrasi, contohnya di negara yang sudah mapan sistem demokrasinya jumlah partainya lebih ramping.

Perubahan lain yang tidak membawa kemajuan adalah sistem proporcional terbuka terbatas dengan masih ditetapkannya calon anggota DPR terpilih berdasarkan nomor urut, kalaupun sanggup memenuhi ambang batas minimal 30 persen Bilangan Pembagi Pemilu (BPP) yang dirasa amatlah berat. Masih kuatnya dominasi partai dalam penentuan siapa calon dan berapa nomor urutnya membatasi orang yang dinilai layak dan popular, tapi tidak mengakar di partainya untuk menjadi calon legislatif utamanya di partai politik besar yang diprioritaskan berdasarkan senioritas, memiliki kedekatan dengan pimpinan partai atau karena mempunyai kekuatan uang untuk membeli nomor urut. Jadi selamat tinggal buat orang muda, tak memiliki modal ekonomi, kecuali dapat nomor sepatu yang hanya menjadi embel-embel atau pelengkap penderita. Syarat 30 persen keterwakilan perempuan dapat menjadi kesempatan bagi perempuan untuk duduk di parlemen tapi jangan terlalu senang jika syarat itu hanya dijadikan formalitas oleh partai politik.

Paradigma sistem yang dihasilkan oleh partai yang isinya terdiri dari orang status quo otomatis tidak akan berubah sepanjang kondisi ini juga linear status quo masyarakat. Dalam arti tidak ada kesadaran atau rasionalitas politik yang tinggi untuk tidak memilih calon yang tidak diketahui rekam jejaknya (track record). Satu-satunya yang bisa memaksa untuk berubah adalah “pasar suara”. Ke depan menjadi peringatan dini bahwa popularitas menjadi syarat penting yang dapat menggantikan pola rekruitmen berbasis struktural dengan yang berbasis pasar. Tapi juga ini bisa kontra prokduktif jika yang dipasang adalah orang populer tapi tidak berkualitas sehingga rekam jejak penting untuk menjadi parameter pemilih.

Mekanisme rekruitmen politik seperti sekarang ini dapat juga menghasilkan kader kutu loncat atau karbitan. Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, untuk menjadi anggota partai politik memang lebih sulit dan lebih selektif terlebih dulu melalui proses perekrutan dari struktur yang terbawah, misalnya terlebih dulu seorang kader politik baru harus magang politik di DPR dan seterusnya. Di Indonesia jauh lebih mudah dalam artian bisa potong jalur misalkan seorang artis yang karena dianggap populer bisa langsung menjadi caleg sehingga kualitasnya juga diragukan.

Sedangkan perubahan yang membawa kemajuan yaitu UU Pemilu DPR, DPD, DPRD yang baru saja disahkan memberikan perbaikan tingkat akurasi dan validasi data pemilih, dengan memberikan waktu yang cukup panjang bagi petugas pemutakhiran data, PPS untuk mendata dan memperbaiki data pemilih sementara hingga data tetap pemilih. Mekanismenya pemutakhiran data diselesaikan paling lama 3 bulan setelah diterimanya data kependudukan. Daftar Pemilih Sementara (DPS) disusun paling lambat 1 bulan Sejak berakhirnya pemutakhiran data. DPS tersebut diumumkan kepada masyarakat selama 7 hari untuk mendapat tanggapan dan masukan. Salinan DPS juga harus diberikan PPS kepada yang mewakili peserta pemilu di tingkat desa/kelurahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan. Masukan dari masyarakat dan peserta pemilu diterima oleh PPS paling lama 14 hari Sejak hari pertama DPS dimumkan. Kemudian DPS yang sudah diperbaiki oleh PPS diumumkan kembali selama 3 hari untuk mendapat tanggapan dan masukan masyarakat dan peserta pemilu. Setelah itu PPS wajib memperbaiki DPS paling lama 3 hari setelah berakhirnya pengumuman dan setelah itu disampaikan ke KPU melalui PPK untuk disusun dalam daftar pemilih tetap. Dan juga PPS harus menyerahkan DPS akhir tersebut ke perwakilan peserta pemilu tingkat desa/kelurahan.

Masalah yang krusial juga adalah penggelembungan suara dari calon atau peserta pemilu tertentu, Kemajuan lainnya pada UU Pemilu yang baru dimana mulai dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang berada di tiap TPS diwajibkan untuk memberikan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu, pengawas pemilu lapangan, PPS,dan PPK melalui PPS pada hari yang sama, dapat mengantisipasi terjadinya praktek penggelembungan suara. Dan PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dari di wilayah kerjanya di tempat umum. Kemajuan lainnya adalah dimungkinkannya lebih cepat penyelesaian pelanggaran pemilu sudah selesai lima hari sebelum KPU mengambil keputusan hasil sehingga ada kepastian hukum penyelesaian pelanggaran.”

Catatan penting menjadi harapan bagi pelaksanaan pemilu ke depan yang lebih baik adalah membuat sistem yang mengakomodir tuntutan perubahan dengan merubah sistem politik yang lebih pro pasar mulai dari proses rekruitmen politik secara selektif melakukan pengkaderan sehingga menjadi caleg yang teruji pengetahuan, dan pengalaman politiknya, serta memiliki rekam jejak yang baik sehingga tidak saja popular tetapi juga berkualitas yang dapat dijual ke pasar. Namun pasar perlu mempertegas posisinya pada pemilu 2009 nanti apakah masyarakat pemilih akan lebih selektif menempatkan suaranya pada calon yang kapabel dan akseptabel. Jika masyarakat masih memilih calon berdasarkan nomor urut saja maka para anggota tidak akan membuat produk undang-undang yang pro pasar, sistem pemilu 2014 nanti tidak akan terjadi perubahan yang membawa kemajuan bangsa dan negara. Sehingga kekuatan pasar pada pemilu 2009 sangat dibutuhkan untuk memaksa para pembuat kebijakan dan aturan yang pro rakyat. Mempermudah tapi mekanismenya dari bawah, bagi para pakar (intelektual) yang memiliki kemampuan diharapkan dapat mengikuti proses rekruitmen dari bawah sehingga juga memiliki pengalaman politik yang handal. Keterwakilan perempuan hendaknya tidak sebatas prosudural, substansinya adalah perempuan harus memiliki kualitas dan pengalaman yang bisa bersaing di “pasar politik”. (MA)