Minggu, 27 Januari 2008

Untuk Tidak Menjadi Bangsa Alzheimer

Tulisan ini paling tidak sedikit menggambarkan beberapa rezim dan orde yang berbeda dengan segala prestasi dan kekurangannya, yakni di bawah kepemimpinan Soeharto dan masa reformasi sehingga kita tidak menjadi bangsa yang mengidap alzeimer (lupa ingatan) akan sejarah.

Soeharto lebih tepatnya disebut sebagai bapak stabilisator, ia tahu betul bahwa stabilisasi politik menjadi syarat utama berjalannya roda pembangunan. Berhasil mewujudkan swasembada pangan bahkan sempat diujuluki macan Asia karena mampu di jalur pertumbuhan tinggi menuju negara industri. Indonesia mengambil untung besar dengan naiknya harga dunia minyak dan gas bumi yang dikenal dengan efek bonansa pada tahun 1980-an (meskipun awal suburnya korupsi).

Karakter pemimpin seperti Soeharto mengambil jalan tegas untuk sikap menentukan demokrasi yang dipahaminya dapat menggangu stabilitas. Berbagai peraturan yang dibuatnya, uniformisasi atau penyeragaman kehidupan berbangsa. Seperti pembatasan pendirian partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Soeharto adalah seorang pemimpin yang sangat pandai belajar dari sejarah demokrasi masa Soekarno, yang terlalu banyak partai politik sulit untuk mengendalikannya. Dan membatasi aktifitas politik mahasiwa di dalam kampus dengan peraturan NKK-BKK karena aksi-aksi mahasiswa menggangu pemerintahan orde baru seperti Malari. Begitupun dengan kontrol yang kuat terhadap pers, beberapa terbitan yang dibredel karena dianggap terlalu keras dan berlawanan dengan kebijakan Soeharto. Semuanya dengan alasan stabilitas. Soeharto sadar betul betapa sulitnya memimpin republikyang plural ini jika tidak dengan tangan besi, dan konvergensi pun dilakukan di setiap bidang dan sistem negara kita, kekuasaan terpusat di istana negara dan cendana.

Di awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto banyak tahanan politik yang dianggap terlibat PKI dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan. Peristiwa peristiwa kekerasan di Talangsari Lampung, Tanjung Priuk dihadapi dengan represif oleh Soeharto, banyak aktivis mahasiswa yang dijebloskan ke penjara Cuma karena bersikap kritis, begitu juga operasi militer untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka. Itulah sekilas beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan negara dengan dalih stabilisasi .

Sebenarnya setiap model pemerintahan yang otoriter (maupun semi otoriter untuk menyebut pemerintahan Soeharto), stabilitas sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan, investor merasa terjamin untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Namun faktanya pada akhir tahun 1997 hingga 1998 puncak krisis ekonomi melanda beberapa negara, Indonesia termasuk paling parah terkena imbas krisis tersebut.Kita ingat betul masa-masa itu mahalnya harga-harga kebutuhan pokok, nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terjun bebas. Pertanyaannya kemanakah fundamental ekonomi pembangunan pemerintahan Soeharto sehingga bisa terimbas krisis tersebut.

Konsep stabilitas pembangunan Soerharto begini, dengan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) contohnya agar masyarakat tidak merasakan gejolak harga pasar minyak dunia meskipun anggaran subsidi tersebut membengkakkan utang negara yang penting masyarakat tidak bergejolak. Soeharto paling tahu cara menenangkan tidur rakyatnya. Yang penting stabilitas negara terjaga, sehingga kesannya situasi pemerintahan orde baru semuanya gampang-gampang dan enak saja tidak sama dengan sekarang.

Di bidang perbankan, paket deregulasi memberikan keleluasaan orang untuk mendirikan bank meski tidak memenuhi kecukupan modal. Hasilnya banyak bank yang kolaps diterpa krisis moneter tahun 1997. Model penetapan kurs rupiah (fix exchange rate) juga sangat menguras cadangan devisa kita. Kebijakan-kebijakan Inilah awal mulanya krisis yang parah itu di negara kita. Pertumbuhan tinggi di masa tahun 1980 samapi tahun 1990-an tapi tidak diikuti pemerataan pendapatan, pembangunan juga tidak merata, hanya daerah-daerah seperti Jakarta, dan provinsi di Jawa saja yang mengalami kemajauan, sedangkan daerah lainnya sangat tertinggal. Alhasil rapuhnya fundamental ekonomi kita mengakibatkan krisis ekonomi yang tidak teratasi dibanding Malaysia, Korea Selatan yang cepat pulih dari krisis. Belum lagi diperparah perilaku korup kerabat dan kroni Soeharto yang mempercepat ambruknya bangunan ekonomi Indonesia.

Bagaimana dengan keadaan sekarang setelah sepuluh tahun lengsernya presiden Soeharto. Dua kali pemilu langsung di alam demokrasi, empat kali ganti presiden menurut masyarakat keadaannya tidak baik-baik juga. Korupsi makin merajalela, pemerkosaan dan tindak kejahatan lainnya makin banyak. Inilah fenomena kebebasan pers sedikit kejadian di muka bumi yang tidak diberitakan. Sebenarnya korupsi jauh lebih besar di masa sebelum reformasi tapi tidak diberitakan. Supaya lebih sportif memang penegakkan hukum kita sekarang masih lembik tidak ada ketegasan sehingga masih banyak praktek-praktek korupsi baru, dan juga ilegal logging yang terjadi. Coba pemberantasannya seperti di China ada yang sampai di hukum mati sehingga menimbulkan efek jera. Ini juga disebabkan oleh judul orde yang berubah tapi yang berada di dalam kekuasaan tetap diisi orang-orang lama. Begitu keran demokrasi dibuka bangsa kita belum siap secara kultur yang terbiasa selama lebih dari empat dekade di bawah kekuasaan yang anti demokrasi, yang feodal, dan berbau monarki walau berwajah republik.

Jika membandingkan dulu dengan sekarang juga haruslah objektif bahwa pembangunan di bidang pertanian di zaman Soeharto jauh lebih baik dari sekarang yang baru-baru ini dilanda krisis pangan di negara petani. Revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden SBY baru sebatas wacana dan retorik belaka. Dulu pembangunannya juga lebih terskema jangka panjang sebagaimana yang tertuang dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara), sekarang tidak ada lagi, sehingga sekarang ini kesannya pembangunan tambal sulam sebatas menyelesaikan masalah. Mungkin Rancangan Pembangunan Jangka Panjang yang masih dibahas di DPR dapat dijadikan tahapan pembangunan menggantikan GBHN yang menjadi pegangan arah pemerintahan sehingga lebih terpola.

Keadaan sangat berbeda, pers semakin bebas, dunia kampus semakin kreatif dan kritis ini diperlukan dalam berdemokrasi. Tapi masyarakat kita tidak sabar dan buru-buru membandingkan dengan keadaan masa-masa Soeharto yang katanya harga-harga tidak segila sekarang mahalnya. Dulu masyarakat cukup dikasih permen melalui subsidi untuk menetralisir kenaikan harga di pasar. Konsep sekarang sudah tidak bisa lagi anggaran tidak cukup membiayai pembangunan makanya subsidi secara perlahan dan bertahap harus dihilangkan. Subsidi harus lebih kena sasaran dan efisien misalnya di sektor pertanian bukan di sektor perbankan yang banyak dilarikan oleh penjahat BLBI. Pembiayaan pembangunan harus dapat terserap dalam APBN untuk cepat menghasilkan PDB yang lebih besar lagi.

Yang belum berubah (status quo) yaitu, korupsi masih merajalela (tidak adap kepastian hukum sangat berdampak ke iklim investasi), konglomerasi politik dan oligarki kekuasaan, pembangunan daerah di luar Jawa masih lambat. Yang sudah berubah adalah rakyat bisa menentukan pemimpinnya, mekanisme konstitusi dan undang-undang sudah lebih adaptif, di bidang ekonomi reformasi keuangan sedang berjalan subsidi yang inefisien sudah dialihkan ke subsidi yang lebih bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak. Yang harus terus ditambahkan atau diperbaiki adalah di bidang politik penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah, Rencana Pembangunan Jangka Panjang harus segera ditentukan., hukum harus ditegakkan untuk menimbukan efek jera bagi koruptor, adanya jaminan iklim investasi, sektor pertanian harus di subsidi dengan berbagai skim yang memihak petani, infrastruktur harus ditambah dan diperbaiki, sehingga lapangan kerja terbuka pengangguran teratasi dan akhirnya pendapatan per kapita meningkat kemiskinan menurun mampu menkorversi flukstuasi harga, pembinaan ekonomi kecil dan menengah, pendidikan maju, sehingga pencapaian demokrasi sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Jika pendapatan tidak mampu mengkonversi kenaikan harga akibat pencabutan subsidi BBM, dan pengaruh inflasi lainnya, maka tunggulah gelombang balik demokrasi ke masa otoriterian.

Memang betul bahwa mengurus bangsa yang majemuk ini sulit dengan cara demokrasi, tapi bukankah lebih baik hidup di alam yang tanpa tekanan dari penguasa. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan maka akan tercipta sebuah keputusan terbaik buat bangsa. Pemerintahan Soeharto memang ada kesalahan tapi juga tidak sedikit baiknya yang harus dicontoh oleh pemerintah sekarang dan nanti. Demikian agar kita belajar dari sejarah dan tidak pernah dilupakan oleh setiap generasi yang peduli dengan masa depan bangsanya. Mari kita masuki babak baru kehidupan di republik dengan demokrasi yang berkualitas. Seperti di banyak negara yang mapan ekonomi dan negara yang baru belajar berdemokrasi dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kecerdasan politik rakyatnya dalam memilih pemimpin.
Foto (muhtarsuhaili.wordpress.com)

4 komentar:

fizi mengatakan...

ironis memang...

pak harto yang hanyalah lulusan SD/SMP dapat membuat indonesia menjadi swasembada beras....

sedangkan presiden kita sekarang yang (katanya) Doktor Pertanian IPB tidak bisa meningkatkan produksi bahan pangan kita dengan baik, terutama beras dan kedelai

Marwan mengatakan...

Setuju cantik,,,tapi boleh gw nebak Kayaknya kamu anak pertanian (buka anak petani) tapi setidaknya pernah kuliah di fakultas pertanian, di Universitas mana ya, kalo boleh tau,

ririn mengatakan...

wah,wah, lebih lengkap dari buku sejarah saya=D..em,,tapi mo gimana2 kalo embah2 pasti,deh tetep:cinta mati ma pak Harto..yang penting kan negara tenang harga murah,hehe..

Eko Nurhuda mengatakan...

Bedanya jaman Pak Harto ya pada sikap para politisinya. Dulu rakyat tentram tapi politisi teriak-teriak karena susah dapet posisi, sekarang politisi yg tentram adem ayem sementara rakyat terus teriak-teriak susah dapet nasi. Ini negara rakyat apa politisi? Katanya demokrasi tho?

Ecko