Rabu, 23 Januari 2008

Instrumen Pragmatis Kedelai

oleh: Mukti Amir
Dalam beberapa pekan ini media banyak memberitakan soal kelangkaan dan mahalnya harga komoditas kedelai di Indonesia. Padahal kedelai sebagai bahan baku pembuat tahu tempe merupakan salah satu sumber protein alternatif yang harganya lebih murah dibanding sumber protein lainnya bagi masyarakat. Mahalnya harga kedelai disamping karena harga kedelai dunia naik juga karena kelangkaan produksi oleh petani lokal. Lagi-lagi hal ini disebabkan oleh beberapa kebijakan yang kontraproduktif yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang membebaskan bea masuk impor komoditas kedelai. Sebagai negara yang katanya agraris Indonesia sekarang sudah menjadi net importir.

Paling besar Indonesia mengimpor kedelai dari AS yang tiap tahun rata-rata mengimpor 1,3 juta ton atau 60 persen dari kebutuhan kedelai nasional. Ironis memang jika melihat Indonesia memiliki potensi sebagai negara agraris. Hal ini bermula dari batasan yang disepakati dalam Letter of Intent (LoI) pada 24 Juni 1998 yang harus membebaskan tata niaga pangan termasuk kedelai dengan tarif bea masuk 0 persen. Padahal di AS sendiri sebagai produsen utama kedelai dunia memberikan insentif jaminan harga yang diberikan pemerintah untuk menstimulus produktivitas pertanian kedelainya dan kebijakan Departemen Pertaniannya mendorong ekspor kedelai melalui kredit ekspor untuk mengatasi kelebihan produksi. Ini mendorong banyak importir negara lain termasuk Indonesia mengimpor kedelai dari AS.

Mahalnya harga komoditas kedelai di pasaran internasional disebabkan kelangkaan produksi kedelai. Jika ditelusuri permasalahan kelangkaan domestik tidak persis sama dengan kelangkaan yang terjadi di luar negeri dimana permintaan konsumsi kedelai dunia meningkat sementara produksi menurun akibat penurunan produktivitas dan persaingan dengan komoditas jagung sebagai sumber energi alternatif yang mengkonversi areal kedelai tadi. Penurunan produksi kedelai di Indonesia bukan disebabkan konversi energi tapi karena kalah bersaing dengan kedelai impor. Sementara produktivitas kedelai dunia dan lokal menurun dan harga kedelai dunia naik maka yang terjadi adalah harga dalam negeri bahan baku tempe dan tahu ini akan ikut-ikutan naik.

Secara teori semestinya ketika harga dunia lebih menarik maka akan diikuti oleh naiknya volume ekspor kedelai kita. Ketika harga dunia naik, seharusnya dapat diisi oleh produsen lokal. Namun Fakta yang terjadi adalah langkanya pasokan kedelai yang dihasilkan petani untuk kebutuhan lokal apalagi untuk diekspor. Ini tidak lepas dari kebijakan proteksi AS yang membuat petani kita kalah bersaing dan menurunkan gairah petani untuk menanam kedelai.

Jika Menteri Pertanian Anton Apriyantono menginginkan adanya peran swasta untuk mendorong peningkatan produksi kedelai adalah sesuatu yang absurd. Swasta tidak akan masuk ke sektor pertanian kedelai jika tidak ada insentif dari pemerintah seperti yang dilakukan oleh AS. Jika bea masuk terus dibebaskan pemerintah sama saja membiarkan mekanisme pasar menghancurkan petani dan swasta tersebut.

Solusi penting
Jika Bulog ingin menjadi stabilisator harga kedelai sebagai upaya memberi insentif produksi kedelai petani, maka harus dicarikan lagi sumber anggaran subsidi yang tidak mungkin lagi hanya mengandalkan APBN. Mekanisme lainnya dapat berupa kredit lunak Bulog di perbankan untuk dapat menghimpun dana pengendali harga. Tapi kebijakan stabilisasi harga terkendala adanya batasan Bulog sebagai pengendali harga kedelai pasca LoI (Letter of Intent) dengan IMF. Terperangkapnya pada kesepakatan itu membuat Pemerintah tidak dapat berbuat banyak dalam hal pengendalian harga kedelai. Kecuali melakukan perombakan paket deregulasi tersebut melalui pembatasan impor kedelai kembali atau memberikan peran Bulog secara permanen untuk mengendalikan harga seperti pada gabah (beras).

Perkembangan mutakhir tentang langkah fiskal yang diambil pemerintah adalah menurunkan bea masuk barang impor 0 persen ketika harga dunia naik dari sebelumnya 10 persen. Langkah ini dapat berubah jika kondisi harga dunia sudah menurun (murah) maka bea masuk impor akan kembali dinaikkan. Instrumen yang diambil harus hati-hati dengan riset yang mendalam dengan memperhatikan selisih antara harga pasar dunia dengan harga ketika bea masuk dihilangkan. Otomatis pada saat harga dunia naik Indonesia yang mengimpor kedelai, harganya di pasar domestik akan mengikuti harga dunia walaupun penurunan tarif bea masuk impor mentrade off harga dunia yang naik. Langkah pragmatis ini paling tidak dapat mengisi kekurangan pasokan bahan baku kedelai dalam negeri. Padahal jika kita mampu meningkatkan produksi kedelai masalah kelangkaan akan teratasi dan mengurangi ketergantungan impor.

1 komentar:

Olive Sahara mengatakan...

Tampilan blog yang menarik, penuh warna, dan informasi yang diberikan sangat mendetail. Bila tertarik untuk menambah sedikit wawasan tentang materi terkait, buka juga http://lemakminyak.blogspot.com berisi info tentang pengolahan lemak dan minyak dari beberapa bahan, misalnya kedelai, sawit, dll. sampai dengan produk-produknya dan pengujian. Semoga bermanfaat.